Terima kasih telah berkunjung ke seruan muslim7 ,Insyaallah bermanfaat dan mohon maaf atas kekurangan kekurangan yang ada , SUKRON !!

Search.......

Kutipan

"Komandoin orang buat baca 100 sholawat skrng ya. Malam ini. Silahkan bikin redaksinya sendiri. Yg jelas, saya baca nih skrng. Dg harapan diikuti oleh sebanyak2nya orang bacaan sholawat saya ini. Dg begitu didapet irama yg sama, frekuensi persiapan doa yg sama. Habis baca sholawat, doa dan saling mendoakan dah. Makasih ya..

Jumat, 13 Januari 2012

Hadits-Hadits Tentang Larangan Menggambar

Hadits-hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa sangat banyak, ada beberapa lafazh yang diriwayatkan oleh sahabat berbeda sehingga dianggap sebagai beberapa hadits. Berikut ini hanya sebagian di antaranya:
1.    Hadits Jabir radhiallahu anhu dia berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR. At-Tirmizi no. 1671 dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
2.    Hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pulan kubur yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.”(HR. Muslim no. 969)
Dalam riwayat An-Nasai, “Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.”
3.    Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail alaihimasssalam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR. Ahmad  no. 3276)
4.    Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ 
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
5.    Dari Ali radhiallahu anhu dia berkata:
صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5256)
6.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril alaihissalam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5270)
Mirip dengan hadit ini dari hadits Aisyah riwayat Muslim, hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari, dan hadits-hadits lainnya.
7.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا تَدْخُلُ الْمَلائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5545)
8.    Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)
9.    Dari Abu Juhaifah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم لَعَنَ الْمُصَوِّرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5962)
10.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ تبْصِرُان وَأُذُنَانِ تسْمَعُان ، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ  يَقُولُ : إِنِّي وُكِّلْتُ بِثَلاثَةٍ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ وَبِكُلِّ مَنْ ادَّعَى مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَالْمُصَوِّرِينَ
“Akan keluar sebuah leher dari neraka pada hari kiamat, dia mempunyai 2 mata yang melihat, 2 telinga yang mendengar, dan lisan yang berbicara. Dia berkata, “Saya diberikan perwakilan (untuk menyiksa) tiga (kelompok): Semua yang keras kepala lagi penentang, semua yang beribadah bersama Allah sembahan yang lain dan para penggambar”. (HR. At-Tirmizi no. 2574 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
11.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar Nabi  shallallahu alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Kenapa mereka tidak menciptakan lalat atau kenapa mereka tidak menciptakan semut kecil (jika mereka memang mampu)?!” (HR. Al-Bukhari no. 5953, Muslim no. 2111, Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)
12.    Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
13.    Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)
14.    Dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Siapa saja yang menggambar suatu gambar di dunia maka pada hari kiamat dia akan dibebankan untuk meniupkan roh ke dalamnya padahal dia tidak akan sanggup meniupkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5541)
Yang Terlarang Hanyalah Gambar Makhluk Bernyawa
Sebagian besar hadits-hadits di atas larangannya bersifat umum mencakup semua jenis gambar. Hanya saja sebagian hadits lainnya memberikan pembatasan bahwa yang terlarang di sini hanyalah menggambar gambar makhluk yang bernyawa.
Di antara hadits-hadits yang memberikan pembatasan ini adalah:
a.    Hadits no. 6 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
b.    Hadits no. 13 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma. Sisi pendalilannya bahwa Allah menyuruh untuk menghidupkan gambar yang dia gambar. Ini menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah gambar makhluk yang bisa hidup (bernyawa).
c.    Hadits setelahnya pada no. 14 dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu. Sisi pendalilannya bahwa para penggambar diperintahkan untuk meniupkan roh pada gambarnya, maka ini menunjukkan tidak mengapa menggambar gambar makhluk yang tidak memiliki roh/nyawa.
d.    Menguatkan hadits no. 6 di atas, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ 
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak ada lagi gambar.” (HR. Al-Baihaqi: 7/270 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
e.    Sebagai tambahan juga ada dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ, يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ يُعَذَّبُ بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Setiap penggambar berada dalam neraka, setiap gambar yang dia telah gambar akan diberikan jiwa (dihidupkan oleh Allah) yang dengan gambar itu dia akan disiksa di dalam Jahannam.”Lalu Ibnu Abbas berkata, “Jika kamu harus untuk menggambar maka gambarlah pohon dan apa saja yang tidak mempunyai nyawa.” (HR. Al-Bukhari no. 2225 dan Muslim no. 5540)

Rabu, 11 Januari 2012

Sedekah , bukannya kita memberi harta , tapi kita mengumpulkan harta

Apa saja yang kalian nafkahkan dari kebaikan maka itu untuk diri kalian sendiri
apa saja yang kalian nafkahkan dari kebaikan , maka Allah akan menyempurnakan
dan anda semua tidak akan dirugikan .

Jadi , sedekah itu bukan untuk orang lain , tapi untuk kita sendiri , sebagai tabungan kita di akhirat , dan untuk melancarkan rezeki , menghentikan persoalan dan masalah dalam hidup kita , dan kita tidak akan dirugikan , karena Allah akan melipatgandakan sedekah anda menjadi 70 kali lipat , dan benda yang anda inginkan , pasti akan diberikan oleh Allah , tapi tetap , melalui proses ibadah.


لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ 

Dalam ayat ini Allah swt. memberikan bimbingan kepada kita supaya tidak keberatan untuk memberikan pula sedekah itu kepada fakir miskin yang bukan muslim. Janganlah enggan bersedekah kepada mereka hanya dengan alasan bahwa mereka belum beriman kepada Agama Allah. Sebab, petunjuk untuk beriman itu datangnya dari Allah, sedang rasa-rasa belas kasih menghendaki agar orang-orang yang memerlukan pertolongan harus diberi tanpa memandang apakah ia beragama Islam atau bukan.
Ada beberapa riwayat menerangkan sebab turunnya ayat ini, antara lain riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Abbas sbb:

أن النبي صلي الله عليه وسلم كان لا يأمرنا ألا نتصدق إلا علي أهل الإسلام حتي نزلت هذه الآية
Artinya:
Bahwasanya Rasulullah saw. dulu menyuruh kita untuk tidak bersedekah kecuali kepada orang-orang Islam saja, sehingga turunlah ayat ini (yang membolehkan kita untuk bersedekah kepada orang kafir yang bukan Islam). (HR Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas) 
Apabila Allah swt. mengatakan kepada Nabi dan Rasul-Nya bahwa petunjuk (taufik) itu adalah semata-mata urusan Allah dan bukan urusan beliau, maka apalagi kita umat Muhammad, tentu saja hal itu bukan urusan kita. Kita tidak boleh menahan sedekah kepada orang-orang yang bukan Islam hanya dengan alasan perbedaan agama semata-mata. Di samping itu bersedekah kepada sesama muslim tentu lebih utama, selagi di kalangan muslimin masih terdapat orang-orang fakir-miskin yang memerlukan pertolongan.
Selanjutnya, Allah menjelaskan, bahwa sedekah itu mendapat faedah timbal-balik. Orang yang menerima sedekah itu dapat tertolong dari kesukaran, sedang orang yang memberikannya akan mendapat pahala di sisi Allah, dan dihargai pula oleh orang-orang sekitarnya, asal saja ia memberikan sedekah itu dengan cara yang baik-baik dan ikhlas karena Allah semata-mata.
Allah swt. menerangkan selanjutnya bahwa apa saja harta benda yang baik yang dinafkahkan seseorang dengan ikhlas, niscaya Allah akan membalasnya dengan pahala yang cukup dan ia tidak akan dirugikan sedikit pun karena orang-orang yang suka berinfak dengan ikhlas tentu disayangi dan dihormati oleh masyarakat terutama oleh fakir miskin dan pahalanya tidak akan dikurangi di sisi Allah.

Seputar Rambut Atau Bulu Yang Wajib Dibiarkan Dan Tidak Boleh Dihilangkan

Oleh
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin



Termasuk bentuk kesempurnaan penciptaan manusia, keberadaan rambut atau bulu di tubuhnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya tidak dengan sia-sia, namun mengandung hikmah atau manfaat, baik diketahui oleh manusia atau tidak. Rambut atau bulu yang tumbuh pada jasad manusia ada yang harus dijaga bahkan wajib dibiarkan, ada juga yang diperintahkan untuk dihilangkan.

Dengan demikian, ditinjau dari hukum Islam (fiqh), hukum rambut atau bulu manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama. Rambut atau bulu yang harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan. Kedua. Rambut atau bulu yang boleh dihilangkan atau dibiarkan. Ketiga. Rambut atau bulu yang wajib dibiarkan dan tidak boleh dihilangkan.

Tulisan berikut ini merupakan kelanjutan naskah yang sama, yang telah dimuat pada edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M. 

RAMBUT ATAU BULU YANG WAJIB DIBIARKAN DAN TIDAK BOLEH DIHILANGKAN
1. Jenggot Bagi Laki-Laki
Banyak hadist shahih yang mengharamkan seorang laki-laki mencukur jenggotnya. Beberapa lafadz yang digunakan Rasulullah dalam memerintahkan agar laki-laki membiarkan jenggotnya, seperti وَأَعْفُوا اللِّحَى perbanyaklah/ perteballah jenggot), وَفِّرُوا اللُّحَى (perbanyaklah jenggot),
أَرْحُوْا اللُّحَ (biarkanlah jenggot memanjang) ,أَوْفُوْا اللُّحَى (sempurnakan/ biarkan jenggot tumbuh lebat). Semua lafadz tersebut bermakna perintah untuk membiarkan jenggot tumbuh dan lebat dan tidak boleh mencukurnya.[1]

Berikut ini lafadz-lafadz hadits di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot. 

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda: 

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

"Tipiskanlah kumis dan perbanyaklah (perteballah) jenggot". [HR Bukhari]. 

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ

"Berbedalah dengan orang-orang musyrik dan perbanyaklah jenggot.” Abdullah bin Umar, apabila melakukan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, apa yang lebih (dari genggaman)nya, beliau memotongnya" [HR Bukhari].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ 

"Potonglah kumis dan biarkan jenggot memanjang. Berbedalah dengan orang Majusi". [HR Muslim]. 

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى 

"Berbedalah dengan orang-orang musyrikin. Tipiskan kumis dan biarkan jenggot tumbuh sempurna (panjang)". [HR Muslim]. 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,”Dengan demikian, berdasarkan beberapa hadits di atas, maka mencukur jenggot dan memotongnya adalah termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya, serta dikhawatirkan ditimpakan kemurkaan dan adzab Allah."

Beliau menekankan: “Di dalam hadits-hadits tersebut di atas, terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya, termasuk perbuatan menyerupai orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik. Padahal sudah diketahui, sikap meniru mereka merupakan perbuatan munkar yang tidak boleh dilakukan. Nabi bersabda: 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka". [HR Abu Dawud].[2]

2. Rambut Alis Atau Mata. 
Mencukur rambut alis atau mata termasuk perbuatan haram. Pelakunya dilaknat oleh Allah, terlebih lagi bagi wanita. Dari Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ 

"Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang minta dibuatkan (tato), yang mencukur alis dan yang meminta dicukurkan". [HR Muslim].

Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.[3] 

Adapun bila bulu alisnya terlalu panjang melebihi keadaan normal, atau ada beberapa helai yang tidak rata sehingga sangat mengganggu bagi diri wanita, maka memotongnya atau meratakannya dibolehkan oleh sebagian ulama, seperti Imam Ahmad dan Hasan Al Bashri. [4]

Sedangkan menghilangkan bulu di wajah (pipi), maka bila dilakukan dengan namsh yaitu menggunakan minqasy (alat pencungkil) hingga ke akar-akarnya, maka tidak boleh. Tetapi bila melakukannya dengan al huf, yaitu menghilangkan dengan silet atau pisau cukur, maka Imam Ahmad berkata: “Tidak mengapa bagi wanita, dan saya tidak menyukainya (dilakukan) laki-laki”. [5] 

Imam Al ‘Aini lebih mengkhususkan bagi wanita yang sudah menikah, untuk mempercantik diri kepada suaminya, beliau berkata: 

وَلاَ تُمْنَعُ الأَدْوِيَةُ الَّتِي تُزِيْلُ الْكَلْفَ وَتُحْسِنَ الْوَجْهَ لِلزَّوْجِ وَكَذَا أَخْذُ الشَّعْرِ مِنْهُ 

"Maka tidak dilarang menggunakan obat yang bisa menghilangkan bulu dan mempercantik wajah untuk suami, begitu juga (tidak dilarang) mengambil rambut darinya (wajah)". [6]

Wanita Memakai Konde 
Diharamkan bagi wanita memakai konde, dengan menyambung rambutnya dengan rambut orang lain atau rambut palsu. Pelakunya mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ 

"Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung (dengan rambut lain), yang membuat tato dan yang minta dibuatkan tato". [HR Muslim].

Sebagian ulama membolehkan wanita menyambung rambutnya dengan selain rambut manusia. Misalnya, dengan rambut binatang, benang atau dari serat.

Imam Al Laits bin Sa’id berkata: “Sesungguhnya larangan menyambung rambut itu khusus menyambung dengan rambut. Tidak mengapa seorang wanita menyambung rambutnya dengan wol atau kain”.[7]

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata: 

لاَبَأْسَ بِالْقَرَامِلِ 

"Tidak mengapa (menyambung rambut) dengan qaramil (sejenis tumbuhan yang batangnya sangat lunak)". 

Fairuz Abadi berkata,"Sa’id bin Jubair berpendapat, yang dilarang ialah menggunakan rambut manusia. Adapun bila menyambungnya dengan sobekan kain, atau benang sutera dan lainnya, maka tidak dilarang.” Al Khaththabi berkata,”Para ulama memberikan keringanan menggunakan qaramil, karena orang yang melihatnya tidak ragu, bahwa yang demikian itu palsu (bukan rambutnya yang asli)." [8]

Ibnu Qudamah berkata,”Yang diharamkan ialah menyambung rambut dengan rambut, karena terdapat tadlis (unsur penipuan) dan menggunakan sesuatu yang masih diperdebatkan kenajisannya. Adapun selain itu, maka tidak diharamkan, karena tidak mengandung makna ini (tadlis dan najis), juga adanya maslahah untuk mempercantik diri kepada suami dengan tidak mendatangkan madharat (bahaya)."[9]

Namun berdasarkan keumuman larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebaiknya seorang wanita tidak melakukan wishal (menyambung rambut). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا 

"Rasulullah melarang wanita menyambung rambutnya dengan sesuatu". [HR Muslim]. 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

"Dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah aku lihat: seorang yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang dia memukul orang-orang, dan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggok-lenggok, kepalanya bagaikan punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya, sekalipun ia bisa didapatkan sejak perjalanan sekian dan sekian". [HR Muslim]. 

Imam An Nawawi menukil perkataan Imam Al Qurthubi yang berbunyi: "Rambut mereka diumpamakan seperti punuk onta, karena mereka mengangkat sanggul rambutnya ke bagian tengah kepalanya untuk menghias dirinya dan ia berpura-pura melakukan itu agar dianggap memiliki rambut yang lebat (panjang)".[10]

Seorang wanita tidak perlu merasa malu dengan rambutnya yang sedikit karena itu bagian dari karunia Allah. Ditambah lagi, itu juga tidak ada yang melihat, karena ia tutup dengan jilbab (hijab)nya. Adapun mengikat rambut dengan selain rambut, maka itu diperbolehkan.

Al Qadhi ‘Iyadh Al Maliki berkata, "Adapun mengikat rambut dengan sutera yang diberi warna dan lainnya yang tidak menyerupai rambut, maka tidaklah dilarang. Karena ia tidak termasuk wishal (menyambung) dan tidak bertujuan untuk itu. Itu hanya sekedar sebagai penghias." [11] Dan inilah yang dimaksud dengan menyambung rambut yang dibolehkan oleh para ulama di atas. Wallahu a’lam. 

Hukum Menyemir Rambut 
Menyemir rambut dibolehkan baik laki-laki maupun perempuan dengan syarat tidak menggunakan warna hitam. Demikian ini berdasarkan hadits riwayat dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata: Abu Quhafah, ayahnya Abu Bakar datang saat penaklukan kota Makkah. Rambut dan jenggot beliau telah memutih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

"Rubahlah ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam". [HR Muslim]. 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ 

"Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir (rambutnya), maka berbedalah dengan mereka". [HR Muslim]. 

Anas berkata,"Saya melihat rambut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mahdhuban (disemir)."
Abu Hurairah pernah ditanya: Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyemir rambutnya? Beliau menjawab,"Ya." [12]

Imam An Nawawi berkata,"Madzhab kami ialah dianjurkan untuk menyemir uban bagi laki-laki dan wanita dengan warna kuning atau merah, dan tidak menyemirnya dengan warna hitam berdasarkan hadits di atas." [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Sebagian ulama ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama adalah hukumnya makruh. Bahkan Imam Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat dengan haram. Sebagian ulama salaf memberikan keringanan (menyemir dengan hitam), Misalnya, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Al Hasan, Al Husain, Jarir, dan lainnya. Inilah yang dipilih Ibnu Abi Ashim. Mereka membolehkan untuk wanita dan tidak untuk pria, inilah yang dipilih oleh Al Hulaimi. Ibnu Abi Ashim memahami dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Jauhi warna hitam,’ karena menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka." [14]

Imam Ibnul Qayyim berkata,”Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila dengan warna hitam pekat. Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katam (semir warna hitam) dengan hina (warna merah), maka tidak mengapa, karena akan membuat rambut menjadi merah kehitam-hitaman."

Terkadang menyemir dengan warna hitam dilarang bila ada unsur tadlis (penipuan), seperti wanita yang sudah tua menyemir rambutnya agar menarik orang yang meminangnya dan ingin menikahi dirinya, atau pria yang sudah tua agar tidak kelihatan ubanan sehingga memikat wanita yang ingin dinikahinya. Semiran semacam ini termasuk penipuan dan kebohongan yang dilarang. Apabila tidak ada unsur penipuan dan kedustaan, maka tidak mengapa. Telah ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Al Hasan dan Al Husain menyemir rambutnya dengan warna hitam.[15]

Membaca penjelasan para ulama di atas, maka menyemir dengan warna hitam dibolehkan dengan syarat, yaitu tidak murni hitam tapi dicampur dengan warna lain, seperti merah atau kuning. Juga tidak boleh terdapat unsur penipuan dan pembohongan, agar dianggap lebih muda dan lainnya. Hukum ini berlaku bagi pria dan wanita, terutama yang sudah menikah.

Imam Ishaq berkata,"Wanita dibolehkan menyemir dengan warna hitam untuk mempercantik dirinya untuk suaminya." [16] 

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah, beliau berkata: Isteri Utsman bin Mazh’un, dulunya menyemir (rambutnya) dan memakai wewangian kemudian meninggalkannya. Ia masuk menemui Aisyah dan ditanya,”Apakah Anda bersama suami atau tidak?” Ia berkata,”Bersama suami, tapi Utsman tidak menyukai dunia dan wanita.” Aisyah berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku, kemudian aku ceritakan semuanya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Utsman dan bersabda,”WahaiUtsman, apakah Anda beriman sebagaimana kami beriman?” Utsman menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Kenapa Anda tidak menjadikan kami sebagai teladan?!"

Asy Syaukani dalam menjelaskan hadits ini berkata: ”Pengingkaran Aisyah terhadap isteri Utsman yang meninggalkan semir dan parfum menunjukkan, bahwa wanita yang memiliki suami lebih baik baginya untuk berhias untuk suaminya dengan menyemir rambutnya dan memakai wewangian.[17]

Demikianlah, Allah menumbuhkan rambut (bulu) di badan manusia. Di antara rambut (bulu) tersebut ada yang diperintahkan untuk tetap dibiarkan dan dipelihara, namun ada juga yang diperintahkan untuk dihilangkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan tuntunan dalam menjaga atau menghilangkan rambut bulunya. Seorang mukmin dituntut untuk bisa mengikuti tuntunan tersebut, baik dalam membiarkan rambut (bulu)nya, atau ketika mencukur atau menghilangkannya. Karena ia ittiba’ (mengikuti) tuntunan Rasulullah, maka tindakannya tersebut bisa bernilai ibadah yang mendapatkan kecintaan dan ampunan Allah. 

ISLAM DAN KEBEBASAN



Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


Banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan hidup bebas, tidak terkekang dengan berbagai aturan. Bahkan karena kuatnya keinginan ini, mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama. Mereka menganggap agama sebagai belenggu yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan belaka.

Meskipun fakta menolak keinginan mereka, karena kebebasan tanpa batas itu mustahil terwujud di dunia ini, namun karena sudah terbius dan terlena dengan rayuan nafsu, mereka tetap saja mengejar hayalan dan impian mereka. Seorang manusia yang hidup di dunia ini tidak terlepas dari dua pilihan, antara mengikuti yang baik atau yang buruk, antara menjadikan dirinya hamba Allâh Azza wa Jalla ataukah menjadikan dirinya hamba hawa nafsu. Ketika hawa nafsu yang menjadi pilihannya, maka seluruh aktifitasnya merupakan respon dari keinginan nafsu. Dan pada saat yang sama, motivasi untuk meninggalkan norma-norma agama akan menguat, sehingga akan semakin jauh terseret arus nafsu syaithaniyah. Ini merupakan sumber petaka terbesar bagi dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring pengikutnya kepada keburukan dan kerusakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

"Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku". [Yûsuf/12:53].

Dan firman-Nya :

"Andaikan kebenaran itu menuruti kemauan nafsu manusia, maka langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya pasti telah binasa. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (untuk) mereka (yaitu al-Qur’ân) akan tetapi mereka berpaling dari peringatan tersebut". [al-Mu’minûn/23:71]

Juga firman-Nya :

"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan (semua) urusannya menjadi rusak/buruk". [al-Kahfi/18:28].

ARTI KEBEBASAN YANG HAKIKI
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa kebahagiaan yang diidam-idamkan oleh para pengusung kekebasan tanpa batas tidak akan bisa diraih. Sebab kebebasan dengan meninggalkan apalagi melecehkan norma-norma agama Islam, hanya akan mendatangkan penderitaan serta membuat hati benar-benar terbelenggu. Jika demikian kondisinya, maka gundah, susah, sedih dan lain sebagainya akan menjadi akibat yang tidak terelakkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia (akan merasakan) kehidupan yang sempit (di dunia)[1] , dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". [Thâha/20:124]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengatakan, “Makna ayat ini, 'Sesungguhnya orang yang mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan berkomitmen dengan agama-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla akan jadikan hidupnya di dunia (penuh) kenikmatan, tanpa ada sedih, gundah dan tanpa susah payah. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla, yang artinya, "…maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." [an-Nahl/16:97]

Dan orang yang enggan mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan berpaling dari agama-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla akan jadikan hidupnya sempit serta (penuh dengan) kepayahan dan penderitaan. Bersamaan dengan semua penderitaan yang menimpanya di dunia, maka di akhirat (kelak) dia akan (merasakan) penderitaan, kepayahan dan kesempitan hidup yang lebih berat lagi” [2]

Allâh Azza wa Jalla juga menegaskan bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki hanyalah akan dirasakan oleh orang yang berkomitmen dengan agama-Nya dan tunduk kepada hukum-hukum syariat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan". [an-Nahl/16:97].

Para ulama salaf menafsirkan "kehidupan yang baik (di dunia)" dalam ayat di atas dengan "kebahagiaan (hidup)" atau "rezki yang halal dan baik" dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki [3].

Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla juga menjadikan lapang dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam sebagai indikator orang yang mendapat petunjuk dari-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh akan mendapatkan hidayah (petunjuk), niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki sesat, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allâh menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman" [al-An’âm/6:125].

Dengan demikian, melepaskan diri dari aturan-aturan agama Islam dengan dalih kebebasan berarti hanya akan menjebloskan dirinya kedalam penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang berkepanjangan di dunia dan akhirat

Wisatahati antv [24-10-2011 #1] - Pengajaran Tauhid dan Akhlak Mulia kepada Anak

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.youtube.com%2Fwatch%3Fv%3DLR79xf5_kSc%26feature%3Drelated&h=hAQGCOj5mAQGL8Z7c3URCWLI4B9mDSaGzbfl0fAZCHbDDyw

Selasa, 10 Januari 2012

DENDA SUMPAH ADALAH BERUPA MAKANAN BUKAN UANG

MELANGGAR SUMPAH DAN DENDANYA


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering bersumpah di hadapan anak-anak saya agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, tapi ternyata mereka tetap saja melakukannya. Apakah dengan demikian saya wajib membayar denda sumpah saya ?

Jawaban
Apabila anda bersumpah dihadapan anak-anak anda atau dihadapan siapapun agar mereka melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kemudian mereka melanggarnya, maka anda wajib membayar denda sumpah anda tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu". [Al-Ma'idah : 89]

Begitu juga jika anda bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, lalu anda melihat bahwa ternyata anda lebih baik membatalkan sumpah anda tersebut, maka batalkanlah sumpah anda kemudian anda membayar denda sumpah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpahmu (dengan membayar denda) dan kerjakanlah sesuatu yang lebih baik dari sumpahmu itu". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya mempunyai kewajiban membayar denda sumpah (kaffarat yamin). Bolehkah saya yang membayarnya dengan uang real Saudi seharga makanan untuk 10 orang ? Kalau boleh, berapa real yang harus saya keluarkan ? Dan bolehkah uang tersebut saya serahkan kepda yayasan sosial ? Berikanlah jawaban kepada saya, semoga anda diberi pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jawaban
Anda boleh membayarkan denda sumpah ibu anda, baik ketika ibu anda masih hidup atau sudah meninggal, dengan syarat ibu anda mengijinkannya. Adapun pembayaran denda tersebut harus berupa makanan, bukan uang. Karena hal tersebut sudah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Banyaknya makanan yang harus diberikan adalah setengah sha' ( 1 ½ kg) dan berupa makanan pokok penduduk setempat sepertu : Kurma, beras, jagung dan lain-lain. Atau boleh juga anda memberi makan siang atau malam kepada 10 orang miskin tersebut, atau memberikan kepada mereka pakaian yang bisa dipakai untuk shalat seperti ; ghamis (baju panjang), sarung, baju biasa dan lain-lain.

Senin, 09 Januari 2012

Risalah : orang tua

BAKTIMU, KEPADA ORANG TUA !

almanhaj.org

TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, DUA SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING
Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah berfirman:

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. [Al Isra`: 23].

Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah berfirman:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik". [Luqman: 15].

Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari'at, Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas'ud berkata:

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,"Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab,"Mendirikan shalat pada waktunya." Aku bertanya kembali,"Kemudian apa?" Jawab Beliau,"Berbakti kepada ke orang tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,"Kemudian?" Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah." [HR Bukhari no. 5.970].

Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin… [Al Baqarah:83].

Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat, anak-anaknya. Allah berfirman:


Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. [Maryam:14].

Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan sikapnya itu. Allah berfirman:

Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. [Maryam:32].

NILAI POSITIF BAKTI KEPADA ORANG TUA
Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan banyak kebaikan; terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai bukti konkretnya, yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdo'a dan bertawasul dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara tiga orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia memanjatkan do'a kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Dalam kisah nyata ini, seorang mukmin meyakini bahwa bakti kepada orang tua, menjadi salah satu faktor hilangnya musibah.

Berbakti kepada orang tua juga akan menggoreskan kenangan kebaikan di benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga akan menjadi insan-insan yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari budinya kepada ayah bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil 'amal, balasan yang diterima oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan.

Sedangkan balasan akhiratnya, ialah syurga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Dikisahkan dari Mua'wiyah bin Jahimah, ia bercerita: Aku bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka Beliau bertanya,"Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Aku jawab,"Ya (masih hidup)!" Beliau berkata,"Temanilah mereka berdua. Sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki keduanya." [Shahih At Targhib Wat Tarhib].

KEHARUSAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SEPANJANG MASA
Bagaimana saya harus berbakti kepada orang tua? Mungkin pertanyaan ini pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam masalah ini, sebenarnya Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui ayat (artinya): "Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua". [Al Isra`: 23].

Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As Sa'di menyatakan: "Berbuat baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh jenis kebaikan, baik dengan ucapan maupun tindakan". Pasalnya, perintah dalam ayat itu dengan kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup seluruh jenis kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan, membantah atau berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab, sebagian orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan ketaatan anak kepada perintah orang tua meskipun tidak sejalan dengan keinginan sang anak.

Ada beberapa syarat yang menjadikan perbuatan baik seorang anak terhitung sebagai bakti kepada kedua orang tuanya. Pertama, mengutamakan ridho kedua orang tua di atas kepentingan pribadi, ridha istri, anak dan orang lainnya. Kedua, mentaati kedua orang tua dalam masalah perintah dan larangan mereka, baik sesuai dengan keinginan anak ataupun berlawanan dengan keinginannya, selama tidak ada aturan syar'i yang dilanggar. Ketiga, dengan perasaan senang sepenuh hati memiliki inisiatif untuk memberi kepada kedua orang tua, sesuatu yang sekiranya mereka inginkan, meskipun tidak diminta. Juga, tetap memiliki anggapan bahwa apa yang diberikannya kepada orang tua, masih tidak ada artinya dibadingkan dengan jasa besar mereka.

Termasuk amalan yang baik buat orang tua, yaitu mendakwahi mereka agar masuk Islam atau mendakwahi mereka kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat. Inilah kebaikan yang tertinggi nilainya. Sebab, ajakan ini akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Meski demikian, semestinya harus dengan cara lembut dan santun, sebagaimana diceritakan Allah tentang Nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya.

Bakti Nabi Ibrahim kepada ayahnya telah sampai titik klimaks. Ayahnya diseru menuju syurga, namun sang ayah justru menyerunya menuju neraka. Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya agar beribadah kepada Allah semata, justru ia mendakwahi supaya Nabi Ibrahim menyembah berhala-berhala. Sang bapak marah dan mengancam seperti dikisahkan Allah Ta'ala, (artinya): Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim. Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama. (Maryam:46). Nabi Ibrahim meresponnya secara lemah-lembut dengan berkata sebagaimana dalam ayat, (artinya): Ibrahim berkata: "Semoga keselamatan bersamamu. Aku akan memohonkan ampun kepada Rabb-ku untukmu". [Maryam: 47].

Allah membalas sikap luhurnya kepada ayah dengan karunia anak, Isma'il yang sangat taat kepada orang tuanya, meskipun harus mempertaruhkan nyawanya dalam kisah penyembelihan yang sudah kita ketahui bersama.

Berbakti kepada orang tua tidak berhenti, meskipun kematian telah menjemput mereka. Masih ada sekian banyak cara yang harus ditempuh untuk meneruskan bakti kepada orang tua yang sudah tiada. Dasarnya, yaitu hadits Anas bin Malik As Sa'idi, ia berkata:

بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا َصِلَةَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فهو الذي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا

Saat aku duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada seorang lelaki dari kaum Anshar yang datang dan bertanya: "Wahai, Rasulullah! Apakah masih ada (perkara) yang tersisa yang menjadi tanggung jawabku berkaitan dengan bakti kepada orang tuaku setelah mereka berdua meninggal yang masih bisa aku lakukan?” Nabi menjawab: "Betul. (Yaitu) ada empat hal: engkau do’akan dan mintakan ampunan bagi mereka, melaksanakan janji mereka, serta memuliakan sahabat-sahabat mereka, juga menyambung tali silaturahmi dengan orang yang ada hubungannya dengan ayah ibu. Inilah (kewajiban) yang masih tersisa dalam berbakti kepada orang tuamu setelah mereka meninggal". [HR Abu Dawud dan Ahmad].

Karena itu, Allah meninggikan kedudukan orang tua lantaran istighfar anak buat mereka. Terlah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


Ada seorang lelaki yang kedudukannya terangkat di syurga kelak.” Ia pun bertanya,”Bagaimana ini?” Maka dijawab: "Lantaran istighfar anakmu.

IBUMU, BERILAH PERHATIAN LEBIH!
Seorang ibu menempati kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan berbanding tiga dari kedudukan sang ayah. Dalam suatu riwayat disebutkan ada sahabat yang bertanya kepada Nabi:



Wahai Rasulullah, Siapa orang yang harus aku berbakti kepadanya?" Beliau menjawab,"Ibumu." Aku bertanya lagi,"Kemudian siapa?" Beliau menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?" Beliau menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?" Beliau menjawab,"Ayahmu." [HR Bukhari no. 5.971].

Adab adab kepada orang kafir

Allah kAzza wa Jalla menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul dengan membawa agama yang haq, untuk membimbing manusia menuju cara beribadah yang benar. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut para rasul itu sebagai orang-orang Muslim. Maknanya, orang yang menyerahkan diri, tunduk dan patuh kepada Allah Azza wa Jalla. Itulah arti Islam secara umum. Yaitu semua agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul semenjak Nabi Nuh Alaihissallam sampai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun secara khusus, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Azza wa Jalla. Dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, Allah Azza wa Jalla menghapus seluruh agama dan syariat sebelumnya. Maka, orang yang mendapati agama ini, namun tidak memeluknya, maka dia kafir.


Agama Islam adalah agama yang haq dan adil, mengajarkan cara-cara bermuamalah dengan seluruh jenis manusia, termasuk mengajarkan sikap seorang Muslim kepada orang-orang kafir. Di sini kami akan menyampaikan beberapa adab kepada orang kafir. Penjelasan ini merujuk padas penjelasan Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dalam kitab Minhâjul Muslim, dan kitab-kitab ulama lainnya.


Seorang Muslim meyakini bahwa seluruh agama selain agama Islam itu batil dan pemeluknya kafir. Allah Ta’ala berfirman :


Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imrân/3: 19]

Dan firmanNya:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imrân/3: 85]


Juga firman-Nya:


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [al-Mâidah/5: 3]

Dengan berita-berita dari Allah Azza wa Jalla ini, seorang Muslim mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah dihapus dan Islam menjadi agama semua manusia. Sehingga Allah k tidak akan menerima agama kecuali Islam, juga tidak ridha dengan syariat selain syariat Islam. Dari sini seorang Muslim meyakini bahwa setiap orang yang tidak tunduk kepada Allah dengan menganut Islam, maka dia kafir yang harus disikapi dengan sikap yang telah ditentukan syariat. Di antaranya, sebagai berikut :


1. Tidak menyetujui keberadaannya di atas kekufuran dan tidak ridha terhadap kekufuran. Karena ridha terhadap kekufuran merupakan salah satu kekufuran.


2. Membenci orang kafir karena Allah Azza wa Jalla juga benci kepadanya. Karena dalam Islam, cinta itu karena Allah, begitu juga benci karena Allah. Oleh karena itu, selama Allah Azza wa Jalla membenci orang kafir karena kekufurannya, maka seorang Mukmin harus juga membenci orang kafir tersebut.


3. Tidak memberikan wala’ (kedekatan; loyalitas, kesetiaan) dan kecintaan kepada orang kafir. Allah Ta’ala berfirman :


لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ


Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab; pemimpin; pelindung; penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. [Ali ‘Imrân/3: 28]


Dan firman-Nya:


لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ


Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang yang menentang itu asdalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. [al-Mujâdilah/58: 22]


4. Bersikap adil dan berbuat baik kepadanya, selama orang kafir tersebut bukan kafir muhârib (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin). Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :


لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-Mumtahanah/60: 8]


Ayat yang mulia lagi muhkam (ayat yang maknanya jelas-red) ini membolehkan bersikap adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir muhârib (orang-orang kafir yang memerangi umat Islam). Karena Islam memberikan sikap khusus terhadap orang-orang kafir muhârib.


5. Mengasihi orang kafir dengan kasih sayang yang bersifat umum. Seperti memberi makan jika dia lapar; memberi minum jika haus; mengobatinya jika sakit; menyelamatkannya dari kebinasaan; dan tidak mengganggunya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ 


Kasihilah orang-orang yang berada di atas bumi, niscaya Dia (Allah) yang berada di atas langit akan mengasihi kamu. [HR. at-Tirmidzi, no. 1924]


6. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatan, selama dia bukan kafir muhârib. Karena itu merupakan kezhaliman yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, berdasarkan hadits qudsi berikut ini :


عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا 


Dari Abu Dzarr Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah Tabâraka wa Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya sesuatu yang diharamkan di tengah kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi”. [HR. Muslim, no. 2577]


7. Boleh memberikan hadiah kepadanya dan boleh juga menerima hadiah darinya serta diperbolehkan memakan daging sembelihan ahli kitab. Allah Azza wa Jalla berfirman :


وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ


Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu. [al-Mâidah/5: 5]


8. Tidak boleh menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki kafir (walaupun lelaki ini Ahli kitab-pent). Dan laki-laki Muslim tidak boleh menikahi wanita kafir, kecuali wanita Ahli kitab.